MEMETIK SASANDU DI PULAU SEJUTA LONTAR
Memetik Sasandu di Nusa Lontar adalah sebuah film dokumenter karya dua sutradara muda Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldi yang memenangkan Eagle Award 2015. Film yang berdurasi 22 menit 16 detik ini dengan apik membawa kita mengintip kehidupan seorang seniman Sasandu di tanah asalnya, Pulau Rote.
Tidak seperti angklung atau gamelan, tidak banyak orang mengenal alat musik yang berbahan dasar bamboo, dawai dan daun lontar ini. Sasandu gong bukan sekadar alat musik tradisional Rote, Nusa Tenggara Timur. Sasandu gong adalah produk budaya ratusan tahun, representasi kearifan lokal, bergandengan dengan syair lagu tradisional Rote kaya makna yang bertugas sebagai pencerita sejarah yang tersisa.
Diawali dengan alunan musik dan syair tradisional yang perlahan hilang berganti dengan musik remix modern, film ini seakan menggambarkan kesenian Sasandu yang perlahan terlupa, bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Tidak ingin penonton salah kaprah, dari awal film, narasumber meluruskan dua kata dasar pembentuk Sasandu, Sari yang artinya dipetik dan Sandu yang artinya bergetar, getaran yang menghasilkan bunyi. Keduanya jika digabungkan menghasilkan kata Sasandu. Berbeda dengan kata Sasando, Do berarti Lurus.
Adalah tabu mengajarkan sasandu gong kepada anak muda, yang apabila dilanggar maka kematian akan didapat. Namun, Esau Nalle (48 tahun) seorang seniman Sasandu Gong melanggarnya dengan mengajarkan kesenian musik tradisional Rote tersebut kepada generasi muda di desanya. Sebuah pilihan berani dengan konsekuensi yang tidak ringan. Bukan hanya karna harus melanggar tradisi, namun juga bersaing dengan music modern yang menyebabkan minimnya peminat Sasandu saat ini.
Tidak hanya mendirikan sanggar Sasandu bernama Detamanu, Esau Nalle didukung oleh istrinya mendidik dan memberikan kesempatan kepada anak muda untuk tampil di acara-acara, salah satunya acara pernikahan. Tampak dalam mempersiapkan suatu acara, anak-anak datang terlambat lebih dari dua jam tanpa menunjukkan rasa bersalah atau takut. Entah sudah menjadi kebiasaan untuk menjadi tidak tepat waktu atau pudarnya minat akan kesenian tradisional ini.
Bagi Esau Nalle, Sasandu merupakan warisan yang sangat berharga. Bukan hanya sebagai kesenian, tetapi juga dalam wujud fisiknya. Konflik terjadi ketika seseorang meminjam dan meninggalkan Sasandu milik ayahnya disebuah hotel sebagai cendera mata dengan alasan rusak. Esau Nalle dengan tegas meminta Sasandu dikembalikan dalam bentuk apapun.
Dalam setiap pergantian scene, musik yang dilantunkan memamerkan syair indah tradisional rote yang bersanding dengan musik modern yang kini mulai mempengaruhi tradisi. Pembuat film juga menampilkan potongan-potongan aktivitas sederhana penduduk Rote. Kesederhanaan ini mempermudah penonton mengerti situasi daerah Rote yang jarang dikunjungi. Sehingga sangat cocok untuk dijadikan media belajar keragaman social budaya Indonesia. Tidak hanya itu, film ini tampak jelas mengandung pendidikan moral tentang komitmen, kepemimpinan dan inovasi. Sebuah film yang menarik ditonton dan kaya akan pembelajaran.